Minggu, 08 Desember 2013

Mendaki Ciremai

sedikit nih mau cerita ttg pengalaman naik gunung bareng temen2, :) semoga ada hikmah yg terselip,, supaya gak sekedar pamer foto, tapi juga berbagi kisah dan hikmah :) cekidot..

Mendaki Ciremai
Cireng cireng apa yang tinggi? Cirengmai,,

Cerita ketika untuk pertama kalinya saya mendaki gunung sampai ke puncak, bersama teman-teman Keluarga Mahasiswa Islam, banyak cerita menarik dan sulit diungkapkan. Sebuah perjalanan dengan persiapan fisik dan logistik yang terbatas, inilah cerita kami menghadapi kesulitan selama mendaki, namun tetap berakhir sampai ke atas (puncak).

Naik gunung bawa koper
Pagi itu jam setengah 8 pagi saya sudah datang ke Mesjid Salman, katanya sih kumpul jam 8, tapi baru 1 atau 2 orang yang datang. Sengaja saya datang lebih awal, soalnya mau pinjem tas carrier yang lagi diantar teman. Kirain Cuma saya yang belum siap perlengkapan, dan jadi orang paling hectic kelabakan. Tapi dugaan saya salah, teman-teman saya ternyata ada yang lebih parah, sebut saja namanya Farah, jangankan pakai tas carrier dia malah bawa koper, mau sekalian mengunjungi adik di pondok katanya mah. Alamaak! Yasudahlah..

Ketinggalan Bis
Bilangnya kami akan berangkat jam 9 pagi, tapi jadinya malah telat banget, baru berangkat jam 11 siang, saat perut udah ga kenyang lagi. Setelah semua kumpul dan packing perlengkapan kami pun berangkat pergi. Saya ingat, waktu itu cek perlengkapan gak diulang lagi, kalaupun ditanya bilangnya lengkap-lengkap aja, soalnya udah gak sabar mau berangkat, takutnya masih pada mau beli ini itu lagi.
Sesampainya kami di terminal Caheum, ternyata bisnya gak ada, entah belum datang atau baru aja berangkat. Teman-teman beranggapan memang kami yang terlambat. Karena biasanya bis sudah berangkat setengah jam lebih awal dari waktu kami datang. Bingunglah kami semua,, tujuan kami waktu itu dari Bandung langsung ke Kuningan. Katanya ada bis yang langsung ke Kuningan. Tapi bisnya udah gak ada. Alih-alih kami berpikir mencari alternatif lain, kebetulan kata penjaga terminal, bis yang sebentar lagi datang adalah jurusan Cirebon. Akhirnya tanpa buang waktu, kami berebut naik bis tujuan Cirebon, daripada gak jadi mendaki gara-gara ketinggalan bis, setelah sampai di Cirebon kami bisa langsung naik ELF ke arah kuningan.
Eeehh, andai aja kami mau bersabar sedikit, ternyata bis tujuan kuningan malah baru datang ketika bis kami jalan. Bisnya terjebak macet ternyata, dan kami udah ga sabar mau cepat sampai ke tujuan. Akhirnya perjalanan kami lanjutkan meski dengan sedikit menyesal.

Bermalam di Pesantren
Perjalanan Bandung-Cirebon menghabiskan waktu 5 jam, kami sampai di Cirebon kira-kira jam 6, seperti rencana kami langsung naik ELF ke kuningan. Sebelum pendakian, panitia memang sudah merencanakan untuk berkunjung sekaligus bermalam di pesantren Husnul Khotimah Kuningan. Sekalian mengisi iman dan mendapat wejangan sebelum pendakian.
Ini pertama kalinya saya ke pesantren dan nginep disana. Sering mendengar cerita dari teman-teman alumni Husnul tentang kehidupan selama belajar disana, tentang kamar mandinya, tentang aturan-aturannya, tentang teman-temannya, makanannya, dll. Ada yang menarik ketika kami akan solat subuh berjamaah. Semua santriwati sudah terbangun tentu saja, alhasil harus mengantri wudhu ataupun ke kamar mandi. Saya bergerak cepat, takut gak kebagian kamar mandi, soalnya males ngantri. Baru aja masuk mau sikat gigi, eeh dari luar udah diketok-ketok. Dalam aturan pesantren, kalau lagi ada orang di kamar mandi, harus diketok dan tanya orang di dalam menggunakan bahasa Arab, itu juga yang dilakukan santriwati di luar. Aduh, saya bingung harus jawab apa, saya jawab “sebentar lagi”. Malah makin keras ketokannya, waah,, ngajak ribut, akhirnya saya percepat aja, cepet-cepet buka pintu sambil nyengir, pamer gigi. :D Hehe

Silaturahmi ke Rumah Eka
Salah satu hal yang paling berkesan pada perjalanan ini adalah bisa silaturahmi. Silaturahmi ke pesantren, dan juga ke rumah Eka- salah satu teman kami yang asli kuningan dan alumni Husnul juga. Kan katanya silaturahmi itu bisa membawa rezeki, ya memang selalu seperti itu kenyataannya. Di Husnul kami dapat tempat untuk nginep gratis dan juga sarapan gratis, di rumah Eka dapat makanan lagi gratis, makan siang dan dibekelin pula untuk selama mendaki. Alhamdulillah.. sambil istirahat sebentar, kami mengadakan acara kekeluargaan angkatan, setelah itu solat Zuhur jama Asar. Lalu barulah kami berangkat, dan mulailah perjalanan tangguh kami dalam mendaki Ciremai, cireng paling tinggi di Jawa Barat ini, selama 2 hari 1 malam.

Berdoa Bersama Ustadz Hafidz
Kami pun sampai di pos pertama start untuk pendakian. Rasanya udah ga sabar mau mendaki. Sebelum mendaki kami streching sebentar, dan berdoa. Doa dipimpin oleh Ustadz Hafidz, alias teman kami calon ketua GAMAIS. Doa dilakukan dengan sangat khusyu, menggunakan bahasa Arab yang kurang begitu saya pahami, tapi saya tahu artinya tentu untuk keselamatan dan mengharap Ridho Ilahi.
Sebelum keberangkatan ini, saya sempat searching di internet tentang pengalaman ketika naik gunung Ciremai. Tak jarang saya menemui artikel/tulisan yang menceritakan hal-hal yang tidak meyakinkan, seperti mitos-mitos kalau naik gunung Ciremai katanya saat turun anggotanya jadi gak lengkap. Waduh, serem juga. tapi saya tepis semua itu jauh-jauh, bahwa semua berita itu mitos saja, kami yakin Allah yang akan selalu melindungi kami, selama kami tidak sombong saat mendaki, karena tujuan kami ingin lebih bertaqarrub dan bertafakur kepada Ilahi.

Baru Beberapa Puluh Meter, 2 orang kembali pulang
Baru saja kami berjalan beberapa puluh meter, tiba-tiba ada kendala dari para akhwat alias para wanita yang sudah terengah-engah menyusul dari belakang. Waktu itu saya termasuk yang di depan, formasinya para wanita diapit oleh pria-pria di baris depan dan belakang. Ternyata teman-teman di belakang itu cukup jauh, akhirnya kami duduk sebentar. Wah sungguh terasa, ini belum sampai ¼ atau 1/8 dari perjalanan, tapi air minum sudah diteguk duluan. Masih menunggu para akhwat lama juga, ternyata ada yang kesakitan di belakang, sebut saja Firda, perutnya keram, gak bisa jalan. Untungnya masih belum terlalu jauh, jadi akhirnya Firda dan 1 orang yang lain berbalik arah untuk pulang. Wah, sayangnya.. tapi mau bagaimana lagi, naik gunung bukan sesuatu yang bisa disepelekan, perlu persiapan fisik yang kuat. Panitia sudah mengingatkan kami untuk latihan lari setiap hari, minimal 1 keliling lapangan bola, tapi hampir semua gak sempat, karena alasan sibuk kuliah. Wah,wah,, ini tantangan cukup berat, persiapan fisik juga kurang, tapi Bismillah kami tetap lanjutkan.

Pos Pertama Kehujanan
Cuaca saat itu memang kurang bersahabat, harusnya ketika naik gunung lebih enak saat kemarau, sehingga tidak kehujanan seperti ini. Hujannya cukup deras, langsung kami memakai ponco masing-masing. Hari juga sudah mulai gelap, akhirnya kami mendirikan tenda sementara untuk solat Maghrib dan Isya sambil menunggu hujan reda. Wah, semua tumplek blek di tenda, kami solat sambil duduk, tendanya pendek, makan juga di dalam tenda sambil gelap-gelapan. Wah, udah gak karuan. Hujan gak reda-reda juga, targetnya bisa sampai puncak ketika subuh tiba, impiannya pengen bisa solat subuh di atas puncak dan melihat sang fajar terbit dari sana. Akhirnya perjalanan kami lanjutkan meski hujan masih rintik-rintik. Let’s Go!

Tidur di tengah hutan
Sejak beranjak dari pos pertama, kami berkali-kali duduk istirahat sambil melonjorkan kaki dan berbaring di atas rumput yang basah. Kami sudah tidak peduli mau kotor atau basah, yang penting bisa segera temukan lahan cukup luas untuk mendirikan tenda dan tidur. Rasanya sudah berjam-jam kami berjalan, tapi gak sampai-sampai. capek banget, ditambah beban tas carrier yang kalau ditimbang mungkin bisa lebih dari 5 kg. Alamaaak tidak tahan, saya udah mau nangis, rasanya tulang punggung mau patah. Pengen tidur dan rebahan meski di atas tanah. Rombongan yang di depan sebenarnya ingin cepat sampai, tapi rombongan belakang sedikit-sedikit minta istirahat. Pasti capek karena persiapan fisik yang kurang matang. Perjalanan kami lanjutkan sedikit-sedikit, sedikit-sedikit istirahat. Aku sudah hampir pasrah dan menyerah, gak sampai-sampai dari tadi, rasanya udah mau pingsan. Tapi orang paling depan bilangnya sedikit lagi, sedikit lagi, sebut saja Angga, dia paling rajin memberi semangat, tapi tetep aja gak sampai-sampai yang katanya sedikit lagi, ahh PHP (Pemberi Harapan Palsu). Untuk ke sekian kalinya Angga bilang sedikit lagi, kali itu yang lain tidak percaya dengan si PHP, tapi benar lah sudah sampai di pos keduaaa,, Alhamdulillaaaaah..! kami langsung mencari tempat untuk rebahan dan selonjoran, waktu itu sekitar tengah malam. Rasanya tidur di atas tanah menjadi nikmat luar biasa, meski beratapkan daun-daun pepohon yang sekitarnya hutan. Sebenarnya kalau mau mikir tempatnya cukup seram, takutnya tiba-tiba ada macan yang keluar dari dalam hutan. Ah sudahlah, kalau di alam lebih baik menjaga pikiran, tidak berpikir yang macam-macam, yang penting malam itu segera membuat tenda dan tidur.

Kedinginan mau pingsan
Semua orang sudah tertidur lelap, tidak ada suara. Saya gak bisa tidur, baju saya semuanya basah luar dalam, gak sempat ganti karena susah terlalu tumplek blek di dalam tenda. Saya menggigil-gigil sampai badan bergetar. Waktu itu saya gak mau mikir macam-macam, tapi mitos-mitos yang pernah saya baca jadi kepikiran. Aah, saya coba panggil teman-teman, Fatimah, Nurhay, Timi, Ami, aaaa semuanya udah pules, tapi tiba-tiba Monic bangun, Alhamdulillaaaaah masih ada yang kebangun. Gara-gara Monic saya jadi bisa tidur, setelah dipinjemin jaket, kaos kaki dan sarung tangan, aaaah Monic makasih banyak. Cukuplah pengalaman tidur di gunung sambil kebasahan dan bikin kedinginan tanpa ampun ini menjadi pelajaran. Jangan sampai terulang.

Perdebatan dalam Perjalanan
Subuh sudah datang, penghuni tenda sudah dibangunkan, yang mau solat bisa tayamum di atas tenda, tapi yang mau buang air sungguh sulitnya luar biasa. Apalagi bagi para wanita. Selama perjalanan kami tidak menemukan sumber air, hanya di pos pertama ada sumber air. Sedangkan persediaan air minum harus dihemat-hemat, bukan untuk digunakan bersuci. Tapi ternyata ada yang menampung air hujan semalaman.
Selesai subuh, kami masak-masak bersama, persediaan makanan dikeluarkan semua, disisakan sedikit untuk perjalanan pulang. Apa saja yang ada dimasak, dicampur. Ada mie kuah rasa goreng, mie goreng tanpa rasa, ikan sarden, dll.
Mimpi untuk berada di puncak saat fajar tiba telah sirna. Ini bahkan baru sampai ½ perjalanan. Mulai terjadi perdebatan apakah kami akan melanjutkan atau turun. Saya sendiri memilih untuk terus naik. Tapi sebagian ada yang ingin turun saja, karena salah satu dari kami juga ada yang sudah tidak kuat untuk naik ke puncak. Pertimbangannya saat itu adalah waktu yang terbatas, persediaan minum dan makanan juga sudah terbatas, ditambah lagi stok senter dan baterai juga sudah habis. Setiap orang tidak membawa senter dan cadangan baterainya masing-masing. Sedangkan kami mungkin baru akan sampai lagi di bawah saat tengah malam. “Ini menyangkut keselamatan kita juga”, tutur anggota yang pro untuk turun. “Tapi ini tanggung bro, tujuan kita kan sampai di puncak, kasian yang lain udah capek-capek naik sampai sini masa turun lagi?” Tutur orang yang kontra untuk turun. Masalahnya lagi kami takut terlalu malam ketika sampai kembali di bawah. Pertimbangannya juga adalah kecepatan kami ketika naik ke puncak, kemarin aja sedikit-sedikit istirahat, itu membuat perjalanan semakin lama dan gak sampai-sampai ke puncak. “Gini deh, kita coba sampai jam 11 ternyata belum sampai puncak, kita langsung turun lagi, soalnya kita perhitungkan waktu juga, kalau terlalu malam, bahaya! Penerangan kita juga terbatas, ini kan salah kalian sendiri gak bawa logistik pribadi yang lengkap”. Akhirnya kami setuju dengan komitmen jalan cepat dan optimis sampai puncak sebelum jam 11. Wuh, saya langsung semangat dan ambil posisi di depan, perjalanan kali ini lebih ringan, karena tas carrier kami tinggalkan di tenda, dijaga oleh teman yang tidak sanggup lagi naik ke puncak. Bismillah..

Kebersamaan Lebih Indah daripada Puncak
Komitmen kami berjalan lebih cepat, karena kalau tidak, kami terancam tidak sampai ke puncak. Rombongan di depan sih semangat-semangat tapi saat nengok ke belakang gak keliatan, yang belakang jauh ketinggalan. Sambil menunggu, rombongan depan duduk istirahat. Ketika duduk, ada sebuah plang putih hijau bertuliskan “Kebersamaan lebih indah daripada puncak”. Wah benar juga, walau bagaimanapun kami harus menunggu teman-teman di belakang, supaya bisa sampai puncak bersama dengan selamat. Setiap orang harus menghilangkan egonya masing-masing, meski sebagian besar tetap semangat ingin terus jalan dan sampai ke puncak, tapi kita juga tak boleh meninggalkan teman-teman yang sudah tidak kuat. Ayo semangat! Istirahat aja dulu..

Kabut Putih Menutupi Puncak
Wah, sudah hampir jam 11, masih jauh perjalanan. Rombongan belakang udah minta turun dan turun aja, tapi orang depan selalu bilang naggung, sebentar lagi, dan sebentar lagi. Tapi komitmennya sampai jam 11 belum di puncak harus turun. Bagaimana ini? Lagi-lagi berdebat, dan dengan berdebat, justru membuat waktu berlalu semakin cepat. Yasudah, akhirnya kami naik sedikit lagi, katanya di atas ada sumber air, kami naik lagi sedikit, setelah mengambil air akan langsung turun. Wah kali itu medannya sungguh berat, berbatu-batu, besar-besar pula. Meski jarak puncak sudah semakin dekat, tapi kalau medannya seperti itu pasti jadi lama dan berat. Akhirnya, karena kami sudah tidak kuat, sebagian pria mengambil air minum di atas, dan kami duduk di puncak kurang 100 meter lagi. Jarak pandang kami sangat terbatas, dikhawatirkan semakin ke atas semakin tidak terlihat dan akan berbahaya. Puncak diselimuti kabut putih, padahal saya ingin melihat laut yang katanya bisa terlihat dari puncak Ciremai. Tapi kami tetap bersyukur Alhamdulillah, kami merasa sudah sampai puncak, setelah berusaha habis-habisan di sepanjang perjalanan, akhirnya kami sampai di puncak Ciremai!. Inilah foto kami ketika di puncak.
137830554246145728

2 orang spesial dalam perjalanan ini
Beliau adalah ibunda Eka, Subhanallah sungguh luar biasa, semangat beliau mengalahkan semangat kami yang masih muda-muda, kami yang muda malah mengeluh terus, banyak merepotkan, Terimakasih ibunda Eka, sudah mendoakan dan menyertai kami sampai ke puncak dan membekali kami dengan makanan-makanan. Mudah-mudahan ibu selalu sehat.
Kedua, sebut saja namanya Suzuki, temannya Eka dari Jepang, Terimakasih Suzuki sudah ikut serta meramaikan perjalanan kami, dia bilang ingin mendaki Gunung Rinjani, mudah-mudahan bisa ya Suzuki, salam buat Doramon dan Nobita di Jepang, sampai jumpa lagi..

1378306035813685699

Itulah cerita perjalanan kami selama mendaki gunung Ciremai, Cireng,, cireng apa yang paling tinggi? Cirengmaaaai. Tebak-tebakan inilah yang muncul untuk menghibur kami ketika perjalanan pulang. Ada banyak pelajaran yang kami bisa petik dari perjalanan ini dan tentunya perjalanan ini membuat jalinan ukhuwah Islamiyah kami semakin kuat. Bukan untuk menyombongkan diri ketika telah sampai di puncak, malah semakin menyadarkan saya pribadi bahwa Allah begitu Maha Besar dan saya amat sangat kecil. Ciremai masih gunung tertinggi di Jawa Barat, belum setinggi Bromo ataupun Jaya Wijaya, tapi untuk mendaki Ciremai saja kami sudah hampir tak kuat jika tidak diberi semangat. Alhamdulillah kami semua sampai di bawah dengan selamat. Sekitar pukul 1 pagi. Subuhnya saya merasa tidak kuat berjalan, efek dari turun gunung lebih dari 10 jam tanpa henti. Alhamdulillah yang terpenting dari segalanya adalah kami sudah sampai dengan selamat, dan mitos memang hanyalah sebuah mitos, jangan dipercaya dan jangan diyakini.
Terimakasih sudah membaca catatan perjalanan kami..

Ayo kita naik Gunung lagi,, sempat kapok, tapi selalu menyimpat cerita berkesan di setiap perjalanan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih banyak ya komennya,, :) mudah2an komennya yg membangun, dan bisa bikin saya dan tulisannya jd lebih baik,,

Hikmah Tak Ada Air

Bismillah Hari ini mulai sore tadi pompa air di rumah ga nyala. Jadinya gak bisa mandi sampai jam 10 baru nyala lagi. Gak betah banget, ge...